Thougts and Writing
Fiksimini: Kucing, Cinta, Choa, dan Tangga
Saturday, May 28, 2016
KEMAMPUAN
SPESIAL
Aku merasa dari sejak lahir aku memiliki kemampuan spesial. Tapi
aku sendiri belum tahu apakah kemampuan ini adalah sebuah karunia atau kutukan.
Kuharap ini karunia dari dewa, karena aku tidak suka kutukan, lagipula siapa
yang mau hidupnya dikutuk, benar kan? Kemampuan spesialku adalah, aku bisa
mengerti bahasa kucing. Aku mengerti apa yang mereka bicarakan, dan kadang
mereka sendiri berbicara padaku.
Seperti
waktu itu, seekor kucing sedang mengais-ngais makanan sisa di tong sampah dekat
restoran sea food. Aku tak sengaja lewat dan melihatnya, lalu dia marah
dan mengumpat padaku. Atau seperti kemarin lusa, kucing berwarna putih kusam
mendatangi tempat tinggalku, dan tiba-tiba saja bercerita tentang betina yang
ia kejar tidak merespon cintanya.
Sesungguhnya aku cukup senang dengan kemampuan spesialku
ini. Hanya, kadang-kadang aku merasa terganggu. Mendengar ocehan manusia saja aku sudah pusing,
apalagi ditambah ocehan kucing. Tidur siangku sering terusik oleh kucing-kucing
cerewet, salah satunya kucing di rumah sebelah yang selalu mengoceh karena tuannya
lupa memberi makan.
Kalau sudah
begitu aku selalu pergi ke taman, hanya untuk sekedar melanjutkan tidurku. Seperti
yang sedang kulakukan siang ini.
……
“ma, ma, ma, lihat! Ada kucing tidur di perosotan”
****
CINTA YANG HAKIKI
“Mama,
maafin papa ya, please?“
“Papa tuh
udah sering kayak gini, mama cape!”
“Please,
maafin papa, emang papa yang salah.”
“…….”
“Papa janji
ngga akan ngelakuinnya lagi”
“Ya udah,
mama maafin, tapi papa harus dewasa, janji ya?”
Akhirnya
mereka beranjak dari tempat duduk, berpegangan tangan, lalu masuk ke kelas 5A.
****
CHOA
Sambil
basah kuyup oleh air hujan, Choa melangkahkan kakinya di atas aspal. Dalam
percikan air hujan, ia merasakan aroma kayu basah. Di ujung jalan yang berkabut,
sayup-sayup terdengar suara teriakan, “Tuhan! aku ingin hidup!”.
****
DI PERTENGAHAN TANGGA
Di pertengahan tangga menuju kamar, aku selalu melihat
wanita bergaun hijau berdiri. Pandangannya kosong, tetapi kadang aku
menemukannya menatap tembok seakan menatap laut tak berujung.
Hampir setiap
hari wanita itu berdiri disana. Pukul sebelas malam ia akan selalu
muncul, bertepatan dengan waktunya aku naik untuk tidur. Awalnya aku sendiri
kaget, namun lama kelamaan aku menjadi terbiasa.
Malam ini, seperti biasanya ia datang lagi. Tetapi ada yang
berbeda, kali ini ia telanjang dan matanya menuju padaku.
Di pertengahan tangga aku membeku.
0 comments