Cerita
curhat
Fact
Jatinangor
Sudah Jangan ke Jatinangor
Saturday, August 29, 2015
“Saat ini gua udah cinta banget sama Nangor”
ungkap seorang teman ketika kami sedang istirahat sehabis futsal di Bale. Pas
saya tanya alasannya, dia menjawab “Alasannya
banyak, tapi gua pengen lu ngalamin sendiri gimana rasanya jatuh cinta sama
tempat ini, hahaha ”. Saya hanya bisa manggut-manggut, dan akhirnya
mengabaikan percakapan 1 tahun silam itu.
Saat
itu saya baru setahun di Jatinangor, semester 3 awal, itu pun tidak sepenuhnya
menetap karena semester 1 sampai 2 saya pulang pergi dari Bandung. Setelah
memutuskan untuk kos di Jatinangor di awal perkuliahan semester 3, otomatis
aktivitas saya sepenuhnya selama hari-hari berikutnya ada di Jatinangor.
Di
Jatinangor, urusan kuliah jadi lebih mudah karena bisa mengerjakan tugas dengan
teman yang sama-sama ngekos, jika ada kesulitan materi atau menyalin catatan
tinggal datangi kos teman, semua urusan selesai dengan gampang. Ketika mencari
referensi di internet untuk tugas kuliah tapi wifi kampus sedang down, maka
beralihlah profesi dari mahasiswa menjadi fakir, fakir wifi. Semua tempat
didatangi, dari café elit sampai kosan teman. Jika harus begadang karena tugas menggunung,
tidak akan sepi karena merasa seperjuangan dengan kamar sebelah, kamar depan,
dan kamar kedua dari kanan, karena merasa ada hubungan emosional, jam 2 malam
janji bertemu, rencana membuat kopi pun berakhir dengan mengobrol, dan tugas
pun terbengkalai, jam 5 selesai mengobrol jam 8 harus masuk kelas.
Di
Jatinangor senang sekali bisa bebas bermain tanpa ada aturan orang tua, pulang
larut malam tidak jadi masalah, bahkan menginap di sana sini pun tidak ada yang
melarang. Hedon sesukanya di mall kesayangan satu-satunya, Jatinangor Town
Square. Di dalamnya lengkap, mau belanja, beli buku, cari hiburan, nonton, bisa
semua. Kalau mau jalan-jalan cari tempat ngobrol yang tidak ramai bisa Kiara
Payung, atau malas jauh-jauh, tinggal datangi Tanjakan Cinta di Unpad.
Di
Jatinangor tidak usah takut kelaparan. Semua jajanan serba ada, beragam makanan
banyak dijual. Mau bubur ayam enak ? tinggal ke depan Ikopin, mau soto yang
enak, tinggal makan soto Glenn Fredly, suka bebek goreng tinggal ke Suroboyo,
mau nasi padang, silahkan pilih satu dari sekian banyak warung nasi padang di
pinggir jalan, atau yang enak nasi padang pinggir Jatos. Mau makanan yang lebih
keren sekalian nyaman buat nongkrong, ada lah KFC, Pizza Hut, Friendzone,
Che.co, Giggle Box, dan banyak lagi. Jika sedang hemat karena akhir bulan dan
belum mendapat transferan, belok sedikit ke dalam gang, banyak pujasera menjual
makanan dengan harga mahasiswa. Kalau lapar tengah malam tinggal hubungi warung
delivery 24 jam, makanan diantar ke gerbang kosan. Pas nunggu makanan diantar
Jangan sampai ketiduran, nanti mamangnya balik lagi.
Di
Jatinangor saya mengenal orang-orang baru yang bukan dari inner circle.
Menemukan teman baru yang punya wawasan luas, teman yang bisa dibombardir oleh
keluh kesah, teman yang bisa memberikan banyak ilmu baru, teman yang sama-sama
lapar tantangan dan pengalaman baru, bahkan menemukan teman yang bisa
mengeluarkan 1 kata tapi membuat semua tertawa bahagia. Teman-teman ajaib yang
bisa bertukar pikiran, berdiskusi, sampai mengomentari hal-hal sepele. Semua berawal dari komunikasi yang tanpa
sengaja terjalin lewat kemacetan dan banjir, ya tanpa sengaja, atau memang
takdir.
Setelah
mengalami semua yang di atas tadi, saya menyadari bahwa banyak kemudahan yang
diberikan Nangor untuk mahasiswa seperti saya. Akhirnya saya sendiri mengalami
bagaimana rasanya jatuh cinta pada Jatinangor seperti apa yang teman saya
katakan. Jika ditanya alasannya, apakah karena hal-hal sepele di atas itu yang
pada akhirnya membuat saya betah? Ya memang, tapi cuma 30%. Bisa dikatakan hal-hal
tersebut hanya sebagian dari sejuta cerita yang saya alami ketika tinggal di
sini.
Saya
jatuh cinta, tapi tidak tahu kenapa. Saya sadar sudah betah, tapi tidak
menemukan alasan yang tepat untuk diungkapkan. Tapi ada satu hal yang mungkin
alasan paling masuk akal. Saya berada disini untuk 4 tahun, tidak sebentar,
untuk kuliah, berusaha mewujudkan cita-cita, menuntut ilmu untuk bekal masa
depan. Dan kuliah ini di usia segini hanya sekali seumur hidup bisa saya
rasakan, ditambah berjuang bersama teman-teman yang memang punya visi misi sama
(apalagi ditambah kenyatan bahwa banyak orang di Nangor ini yang sama-sama
sedang berjuang) rasanya sangat emosional.
Dan
semua diwadahi di suatu tempat bernama Universitas dan kebetulan Universitas
ini berada di Nangor. Sama saja seperti orang-orang di kampus lain yang juga
merasakan bagaimana betahnya tinggal di wilayah kampus mereka. Di Nangor, saya
berusaha bersama teman-teman, belajar mandiri, menjadi remaja yang tidak lagi
mencari jati diri, tapi sudah membentuk diri. Intinya sih, Nangor ini seperti
rumah kedua, dimana ada keluarga kedua juga.
Hmmm
Saya ngomong apa sih?
3 comments
Ah saya lebih suka nasgor ketimbang Nangor.
ReplyDeleteNasgor caringin enak rip.
DeleteHahahaha....temen gw kuliah di unpad nangor dari tangerang, ampe skrg udah kerja, udah nikah, punya anak masih tinggal di nangor sampai beli rumah daerah Cikuda...percis...
DeleteBtw temen gw angkatan 2002 Fapet...