Sudah Jangan ke Jatinangor

“ Saat ini gua udah cinta banget sama Nangor ” ungkap seorang teman ketika kami sedang istirahat sehabis futsal di Bale. Pas saya tany...


Saat ini gua udah cinta banget sama Nangor” ungkap seorang teman ketika kami sedang istirahat sehabis futsal di Bale. Pas saya tanya alasannya, dia menjawab “Alasannya banyak, tapi gua pengen lu ngalamin sendiri gimana rasanya jatuh cinta sama tempat ini, hahaha ”. Saya hanya bisa manggut-manggut, dan akhirnya mengabaikan percakapan 1 tahun silam itu.

Saat itu saya baru setahun di Jatinangor, semester 3 awal, itu pun tidak sepenuhnya menetap karena semester 1 sampai 2 saya pulang pergi dari Bandung. Setelah memutuskan untuk kos di Jatinangor di awal perkuliahan semester 3, otomatis aktivitas saya sepenuhnya selama hari-hari berikutnya ada di Jatinangor.

Di Jatinangor, urusan kuliah jadi lebih mudah karena bisa mengerjakan tugas dengan teman yang sama-sama ngekos, jika ada kesulitan materi atau menyalin catatan tinggal datangi kos teman, semua urusan selesai dengan gampang. Ketika mencari referensi di internet untuk tugas kuliah tapi wifi kampus sedang down, maka beralihlah profesi dari mahasiswa menjadi fakir, fakir wifi. Semua tempat didatangi, dari café elit sampai kosan teman.  Jika harus begadang karena tugas menggunung, tidak akan sepi karena merasa seperjuangan dengan kamar sebelah, kamar depan, dan kamar kedua dari kanan, karena merasa ada hubungan emosional, jam 2 malam janji bertemu, rencana membuat kopi pun berakhir dengan mengobrol, dan tugas pun terbengkalai, jam 5 selesai mengobrol jam 8 harus masuk kelas.

Di Jatinangor senang sekali bisa bebas bermain tanpa ada aturan orang tua, pulang larut malam tidak jadi masalah, bahkan menginap di sana sini pun tidak ada yang melarang. Hedon sesukanya di mall kesayangan satu-satunya, Jatinangor Town Square. Di dalamnya lengkap, mau belanja, beli buku, cari hiburan, nonton, bisa semua. Kalau mau jalan-jalan cari tempat ngobrol yang tidak ramai bisa Kiara Payung, atau malas jauh-jauh, tinggal datangi Tanjakan Cinta di Unpad.

Di Jatinangor tidak usah takut kelaparan. Semua jajanan serba ada, beragam makanan banyak dijual. Mau bubur ayam enak ? tinggal ke depan Ikopin, mau soto yang enak, tinggal makan soto Glenn Fredly, suka bebek goreng tinggal ke Suroboyo, mau nasi padang, silahkan pilih satu dari sekian banyak warung nasi padang di pinggir jalan, atau yang enak nasi padang pinggir Jatos. Mau makanan yang lebih keren sekalian nyaman buat nongkrong, ada lah KFC, Pizza Hut, Friendzone, Che.co, Giggle Box, dan banyak lagi. Jika sedang hemat karena akhir bulan dan belum mendapat transferan, belok sedikit ke dalam gang, banyak pujasera menjual makanan dengan harga mahasiswa. Kalau lapar tengah malam tinggal hubungi warung delivery 24 jam, makanan diantar ke gerbang kosan. Pas nunggu makanan diantar Jangan sampai ketiduran, nanti mamangnya balik lagi.

Di Jatinangor saya mengenal orang-orang baru yang bukan dari inner circle. Menemukan teman baru yang punya wawasan luas, teman yang bisa dibombardir oleh keluh kesah, teman yang bisa memberikan banyak ilmu baru, teman yang sama-sama lapar tantangan dan pengalaman baru, bahkan menemukan teman yang bisa mengeluarkan 1 kata tapi membuat semua tertawa bahagia. Teman-teman ajaib yang bisa bertukar pikiran, berdiskusi, sampai mengomentari hal-hal sepele.  Semua berawal dari komunikasi yang tanpa sengaja terjalin lewat kemacetan dan banjir, ya tanpa sengaja, atau memang takdir.


Setelah mengalami semua yang di atas tadi, saya menyadari bahwa banyak kemudahan yang diberikan Nangor untuk mahasiswa seperti saya. Akhirnya saya sendiri mengalami bagaimana rasanya jatuh cinta pada Jatinangor seperti apa yang teman saya katakan. Jika ditanya alasannya, apakah karena hal-hal sepele di atas itu yang pada akhirnya membuat saya betah? Ya memang, tapi cuma 30%. Bisa dikatakan hal-hal tersebut hanya sebagian dari sejuta cerita yang saya alami ketika tinggal di sini.

Saya jatuh cinta, tapi tidak tahu kenapa. Saya sadar sudah betah, tapi tidak menemukan alasan yang tepat untuk diungkapkan. Tapi ada satu hal yang mungkin alasan paling masuk akal. Saya berada disini untuk 4 tahun, tidak sebentar, untuk kuliah, berusaha mewujudkan cita-cita, menuntut ilmu untuk bekal masa depan. Dan kuliah ini di usia segini hanya sekali seumur hidup bisa saya rasakan, ditambah berjuang bersama teman-teman yang memang punya visi misi sama (apalagi ditambah kenyatan bahwa banyak orang di Nangor ini yang sama-sama sedang berjuang) rasanya sangat emosional.

Dan semua diwadahi di suatu tempat bernama Universitas dan kebetulan Universitas ini berada di Nangor. Sama saja seperti orang-orang di kampus lain yang juga merasakan bagaimana betahnya tinggal di wilayah kampus mereka. Di Nangor, saya berusaha bersama teman-teman, belajar mandiri, menjadi remaja yang tidak lagi mencari jati diri, tapi sudah membentuk diri. Intinya sih, Nangor ini seperti rumah kedua, dimana ada keluarga kedua juga.

Hmmm Saya ngomong apa sih? 

You Might Also Like

3 comments

  1. Ah saya lebih suka nasgor ketimbang Nangor.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha....temen gw kuliah di unpad nangor dari tangerang, ampe skrg udah kerja, udah nikah, punya anak masih tinggal di nangor sampai beli rumah daerah Cikuda...percis...

      Btw temen gw angkatan 2002 Fapet...

      Delete